Rabu, 02 Oktober 2013

Cerpen Remaja

MENGHILANGNYA SANG REMBULAN


Pagi itu sang surya hadir dengan begitu indahnya, dilapisi udara sejuk yang menyelimuti dan merdunya kicauan burung-burung. Hari ini adalah hari senin, dimana awal aku masuk SMA. Hari ini perasaanku campur aduk, dimana ada perasaan senang karena memasuki suasana baru dan keadaan baru, tetapi aku juga merasa sedikit sedih karena telah meninggalkan kawan-kawan lama. Dari sejak pagi aku sudah memakai pakaian sekolah, dengan semangat dan motivasi yang baru tentunya. Setelah semuanya siap lalu aku berangkat ke sekolah mengendarai sepeda motor lamaku. 30  menit lamanya aku menikmati suasana perjalanan dengan motorku. Akhirnya setelah menempuh jarak yang lumayan jauh aku sampai di sekolah baruku. Dan aku langsung bergabung dengan teman-teman baruku yang sudah banyak berkumpul di lapangan sekolah.
” hey!” sapa seseorang di sampingku.
     Aku menoleh. “Iya?”  kataku, “ada apa?”
Sambil tersenyum dia mengulurkankan tangannya dan mengajak aku berkenalan, “Namaku Dena, kamu siapa?” 
“Aku Raditya.” Jawabku.
 Akhirnya kami mengobrol cukup lama sambil menunggu pembagian kelas dari guru di sekolah baruku. Tidak lama, seorang guru kemudian pengumuman pembagian kelas untuk murid baru dan aku mendapatkan kelas X-9, lalu temanku dena juga ikut sekelas denganku. Setelah lama berdiri di lapangan akhirnya kami di persilahkan masuk kelas untuk mempersiapkan semua pembelajaran.
 “Raditya?”
“Hadir!” kataku saat wali kelas mengabsen namaku.
Setelah itu pembaguan struktur kelas dan aku ditunjuk menjadi seorang ketua kelas. Hemm, berat! Batinku. Tetapi, ya sudahlah aku jalani saja semuanya. Tidak lama kemudian bel pulang pun berbunyi, treng-treng-treng. Mendengar suara bel para murid-murid berhamburan dari kelas mereka masing-masing.
Melihat murid-murid lain bersemangat pulang, aku harus menunggu karena kebetulan aku kebagian piket hari ini. Hari pertama masuk sekolah, menjengkelkan!. Aku piket kelas bersama ke 3 temanku, kebetulan mereka menyapu di dalam kelas sedangkan aku kebagian membersihkan halaman depan kelas. Namun saat aku sedang membersihkan halaman kelas tiba-tiba di samping sebelah kelasku ada seorang gadis yang juga sedang membersihkan kelasnya. Tak tahu kenapa mataku ingin terus memandangnya walaupun aku melakukannya dengan mencuri-curi padanga karena rasa malu jika aku ketahuan.
Lalu saat aku memandangnya untuk entah yang keberapa kalinya, dia tiba-tiba saja memandangku juga dan memberikan sebuah senyuman yang manis. Senyumannya mampu menenangkan pikiran dan  jiwaku. Cantik! Batinku tersenyum.
“Argh mungkin aku hanya kegeeran saja. Mana mungkin dia memberikan senyuman padaku!” gumamku samar sembari membuang muka.
Aku membuang muka ketika dia tersenyum kepadaku, jika tidak kulakukan maka mukaku akan terlihat memerah karena malu. Oh ayolah, siapa yang tidak malu jika diberikan senyuman oleh gadis yang disukai? Siapapun pasti akan merasa malu, apalagi aku belum mengenal ataupun berkenalan dengan gadis itu. Lain kali aku akan mengajaknya berkenalan! Tekadku.
***
“Tiara, kamu menyapu di teras kelas ya!” teriak Emi, ketua kelas baruku.
Aku hanya mengangguk malas, lagi pula siapa yang mau piket di hari pertama sekolah? Aku hanya salah satu yang terpaksa melakukannya. Sekolah baruku tidak sepenuhnya dipenuhi hal-hal baru, salah satu hal yang tidak baru adalah aku masih bertemu dengan banyak teman-teman lamaku saat masih di SMP. Jadi, aku tidak terlalu bersusah payah beradaptasi dengan sekolah baruku.
“Hah, aku ingin cepat pulang saja!” gerutuku masih dengan tangan yang sibuk menyapu.
Mataku berkeliling dari sudut kanan hingga sudut kiri lapangan sekolah baruku. Mencari hal-hal baru yang akan menarik perhatianku, tentu saja. Lalu mataku berhenti ketika aku melihat seorang murid laki-laki yang juga sepertinya mengalami kesialan yang sama denganku. Piket di hari pertama masuk sekolah. Dia terlihat bersemangat menyapu halaman kelasnya, berbeda denganku yang ogah-ogahan melakukannya. Aku masih memperhatikannya meskipun tanganku tidak berhenti menyapu lantai teras kelasku. Hingga dia berbalik dan menatapku, dia terlihat seperti ketakutan melihatku. Bukan takut dalam arti melihat hantu tetapi takut yang berbeda, takut karena telah melakukan kesalahan mungkin? Aku juga tidak tahu tetapi itulah yang aku tangkap dari tatapan matanya.
Aku tidak suka melihatnya menatapku dengan tatapan seperti itu, dengan tulus aku tersenyum kepadanya berharap dia akan membalas senyumku. Tetapi apa yang aku dapatkan tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Dia dengan teganya membuang muka tanpa terlebih dahulu membalas senyumanku.
“Apa dia tidak menyukaiku yah?” batinku sedih.
Hari pertama ini benar-benar menyebalkan, piket di hari pertama masuk sekolah dan diacuhkan oleh seorang murid laki-laki pertama yang menarik perhatianku. Aku berharap semoga selanjutnya hari-hariku di sekolah akan menyenangkan dan murid laki-laki itu tidak akan mengacuhkanku lagi.
                ***

3 hari kemudian kebetulan aku datang ke sekolah pagi-pagi sekali, karena ada tugas yang belum aku selesaikan. Lagi-lagi aku bertemu dia, kali ini aku bertemu dengannya di gerbang sekolah. Hatiku sangat senang sekali saat itu, melihat sebuah senyuman yang terlihat tulus buatku.
“Bahagianya hidupku.” Gumamku.
Tidak lama kemudian aku masuk kelas dengan semangat yang membara, karena tadi aku dapat senyumannya. Hatiku selalu ingin tertawa dan bahagia bukan main. Bel masuk pun berbunyi, aku menjeput guruku diruang guru, yang tidak begitu jauh dari kelasku. Tiba-tiba saat aku berada di depan kelasnya dia keluar membuka pintu dan jalan di belakangku.
Astaga, ada apa ini? Kenapa dia bisa jalan di belakangku? Batinku dengan jantung berdebar. Ingin rasanya aku berbalik ke belakang lalu berkenalan, tapi akhh itu semuanya hanya hkayalan semata dan itu tidak mungkin karena aku malu dan takut di anggap cowok sok akrab.
Saat aku berjalan tiba-tiba guruku memanggil namaku dan nama wanita yang ada dibelakangku untuk disuruh memanggil seorang anak di ujung kelas sana. Lalu aku dan dia bergegas berjalan menuju seorang anak yang di maksud. Kami berjalan berdampingan, tapi aku dan dia tidak juga berkenalan karena rasa malu itu masih ada dipikiranku. Setelah itu aku masuk ke kelas dan duduk manis untuk siap belajar. Akh, sayangnya aku tak bisa konsentrasi untuk belajar karena pikiranku masih terus membayangkannya.
Treng- treng –treng.
 Bel pulang pun berbunyi, lagi-lagi aku harus menunggu temanku yang sedang piket. Saat aku duduk di depan taman kelas lalu tiba-tiba dia datang menghampiriku dan duduk di di sampingku. Astaga! Batinku. Saat itu juga aku bertekat buat memperkenalkan diri walaupun mungkin dia sudah tau namaku.
“Hai aku Raditya anak kelas X-9,” kataku sambil menyodorkan tangan bermaksud untuk bersalaman. Dan ternyata tidakku sangka akhirnya dia juga mau berkenalan denganku dan dari situlah aku tahu jika namanya adalah Tiara Agnesthalia. Sebuah nama yang indah untuk wanita seanggun dia. Sejak saaat itu aku dan dia bertukar nomor handphone dan aku mencoba untuk mendekatinya walaupun aku sendiri tidak tahu apakah dia mau dekat denganku atau tidak. Dan mulai sejak saat itulah hari-hariku terasa begitu bahagia karena aku dapat berkenalan dengan wanita yang aku sukai.
Seminggu kemudian kedekatanku sudah semakin dekat dan bahkan mungkin sangat dekat. Kami sering telponan dan sms-san walaupun terkadang kami bingung apa yang harus jami bicarakan di telpon itu. Tapi aku bahagia akhirnya aku bisa dekat dengannya walau terkadang sempat ada di benakku ingin untuk bilang bahwa aku sayang sama dia, akh…tapi semua itu selalu aku batalkan, karena aku ragu dan takut cintaku ditolak.
Aku hanya ingin menungu sampai aku benar-benar tau dan yakin bahwa dia juga menyukaiku, tekatku dalam hati
                ***
Senyum tak pernah lepas dari bibirku beberapa hari ini, aku bahkan bertingkah seperti orang gila karena sering tersenyum sendiri tanpa ada hal-hal yang lucu. Semua itu karena laki-laki itu, laki-laki yang memperkenalkan dirinya bernama Raditya. Well, nama yang bagus dan cocok dengan dirinya. Ternyata tanpa harus aku yang terlebih dahulu berbuat nekad, laki-laki itu yang duluan mengajak berkenalan. Dia juga yang meminta bertukar nomor terlebih dulu.
“Akh…senangnya!” gumamku menatap layar ponselku yang menunjukkan deretan kombinasi angka, nomor ponsel Raditya.
Aku menunggu dia menghubungiku tetapi kenapa sampai detik ini belum juga menghubungiku? Apa sebenarnya dia hanya bermain-main saja? Tetapi mana mungkin dengan wajah seperti itu, tidak… dia pasti laki-laki baik.
“Akh…apa harus aku yang menelponnya duluan?” gumamku.
Tarik napas kemudian hembuskan, aku mengulanginya beberapa kali lalu kutekan tombol hijau bergambarkan sebuah telpon kecil. Detik demi detik bunyi telpon tersambung membuat jantungku berdebar-debar tidak karuan. Oh, apa yang akan aku katakan kepadanya jika dia mengangkat telponku? Haruskah aku menutupnya saja?. Dan sialnya, saat aku akan menutup sambungan telpon dari seberang telpon yang aku hubungi sudah bersuara.
“Halo?”
Itu suaranya, apa yang harus aku katakan?.
“Tiara? Ada apa?”
Dia bertanya lagi, akhh…ayolah Tiara, buka suaramu dan jawab pertanyaannya saja.
“Aku menghubungimu karena kamu tidak juga menghubungiku!” jawaban apa itu? Kenapa aku begitu jujur mengatakannya? Oh Tiara, matilah kau!.
“Oh, maaf tadi aku mengerjakan beberapa tugas sekolah jadi aku belum menghubungimu,”
“Kalau begitu apa aku mengganggu?”
“Tidak, tidak, tentu saja tidak. Aku justru senang kau menghubungiku!”
Yeahh…hatiku berteriak senang. Kami lalu melanjutkan percakapan dengan lancar walaupun terkadang kami berdua tiba-tiba terdiam karena tidak tahu harus mengobrolkan apa lagi. Aku merasa senang dan nyaman berbicara dengan Radit, dia menarik dan terlihat cerdas dari nada bicaranya. Aku mungkin akan sering-sering menelponnya jika sedang bosan, berbicara dengannya membuatku bersemangat.
                ***
Sudah berbulan-bulan berlalu dan tanpa terasa hubunganku dengan Radit, panggilanku untuknya, kami semakin dekat. Atau bahkan aku bisa mengatakan hubungan kami lebih dari teman tetapi tidak bisa dibilang berpacaran. Kami hanya merasa nyaman satu sama lain. Aku merasa memiliki seseorang untuk kuajak bicara, melupakan sejenak permasalahan orang tuaku yang membuatku muak. Walau hanya berbicara dengannya melalui telpon tetapi cukup bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa.
Namun, aku mulai menyadari bahwa hubunganku dengan Radit seperti jemuran, menggantung. Aku menyukainya tentu saja, aku tidak akan mau berlama-lama bertelpon dengan dia jika aku tidak menyukainya. Tetapi apa dia juga menyukaiku? Pertanyaan itu yang selalu muncul dalam benakku setiap kali aku bertemu ataupun bertelpon dengan Radit. Aku ingin menyatakan perasaanku dan ingin mengetahui perasaannya juga kepadaku. Namun setiap kali aku mencoba mengatakannya selalu saja tidak ada yang keluar dari mulutku. Tetapi kali ini aku akan mencoba mengatakannya.
Ponsel yang aku pegang masih kumain-mainkan di tanganku. Berpikir untuk menghubunginya sekarang atau tidak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya.
“Sekarang atau tidak sama sekali.” Tekatku.
Harap-harap cemas aku menunggu sambunganku diangkat. Detik demi detik berlalu hingga suaranya terdengar menjawab panggilanku.
“Tiara, kenapa kau pas sekali menghubungiku? Aku baru saja akan menelponmu!” kata Radit dengan riang terdengar di telinga Tiara.
“Benarkah? Kalau begitu kita sehati.” Jawabku riang menutupi kegugupanku.
Lama kami saling terdiam, aku tidak tahu apa yang dilakukan Radit di seberang sana. Aku masih terdiam mencoba untuk merangkai kata-kata yang tepat untuk mengatakannya kepada Radit agar tidak terdengar memalukan.
“Radit!” panggilku memastikan jika dia masih berada di sana.
“Ya, Tiara.” Jawabnya.
Aku menarik napas lalu menghembuskannya dengan perlahan menormalkan degup jantungku,
“Aku…aku menyukaimu, Radit!” kataku akhirnya.
Aku menghembuskan napas lega begitu mengatakannya, tadi aku menahan napas saat mengatakannya. Tapi, kenapa Radit tidak merespon pernyataanku? Apa dia tidak menyukaiku juga?,
“Aku juga menyukaimu, Tiara.” Kata Radit akhirnya membalas pernyataanku.
Aku tersenyum bahagia mendengarnya, ternyata perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Terima kasih Tuhan.
“Lalu?” tanyaku memancingnya.
Radit terdengar menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku.
“Maukah kamu jadi pacarku?”
Yakkk….pertanyaan yang selama ini aku tunggu-tunggu Raditya. Saking senangnya aku kelamaan tidak menjawab pertanyaannya membuatnya harus beberapa kali memanggil namaku.
“Jadi, maukah kamu jadi pacarku?” tanyanya sekali lagi.
Aku tersenyum yang tentu saja tidak dapat dilihat Radit. 
“Tentu saja, aku mau!” jawabku riang.
Aku tidak dapat membayangkan bagaimana bahagianya aku malam ini. Pernyataan hatiku dan pertanyaan Radit membuat hatiku berbunga-bunga. Malam ini kami resmi berpacaran dan bukan hanya hubungan tanpa status yang tidak jelas. Aku menulis dan mengingat tanggal hari ini dan jam saat ini dalam buku catatanku dan memoriku. Aku tidak akan pernah melupakan hari ini.
                ***
Tiara benar-benar bahagia setelah resmi menjadi pacar Raditya hingga dia melupakan sesuatu yang penting. Sesuatu hal yang mungkin akan membuat Raditya kecewa kepada dirinya. Tiara tidak mau memikirkan hal itu untuk saat ini. Dia ingin untuk saat ini saja, biarkan dia merasakan kebahagiaannya karena memiliki Raditya. Seseorang yang mampu mengerti dirinya dan menerima dirinya sebagai Tiara yang sebenarnya, dan yang apa adanya.
                ***
Malam itu aku bahagia akhirnya aku dapat berpacaran dengan wanita yang dulu bermimpi pun aku tak pernah karena takut dan malu pada wanita yang manis itu. Tidak sadar akhirnya kami bertelpon ria  sangat lama sekali hingga lupa waktu, bahwa jam sudah berputar begitu jauh dan tidak terasa sudah tengah malam. Akhirnya kami pun mengucapkan salam perpisahan untuk tidur malam. Malam ini aku sangat bahagia karena sebelum tidur aku diberikan sebuah kata-kata yang membuatku terasa sangat senang dan bahagia.
“Selamat malam mentariku, I love you!” .
Pagi itu mentari pagi sangat indah diselimuti embun pagi yang lumayan tebal hingga membuat suasana pagi amat begitu menyenangkan. Kulihat ponselku terlihat disana ada sms dari sang bunga, pagi itu adalah hari pertama kami jadian.
Selamat pagi mentari?, Terlihat sms dari si dia buatku.
Selamat pagi juga Bunga, begitulah jawabanku saat sms pertama untuk pagi yang indah.
Tidak lama kemudian aku lalu bergegas berangkat sekolah karena hari ini juga tidak terasa adalah hari dimana aku akan naik ke kelas 2 di SMA sebuah perjuangan cinta yang tidak sebentar, hingga menelan waktu berbulan-bulan lamanya.
Begitu di sekolah aku bertemu dengannya, dengan sang bunga yang selalu membuat harum taman. Memberikan keindahan mata untuk memandang dengan warnanya yang indah.
 “Hai!”, senyumnya padaku.
 “Hai juga!” jawabku dengan sedikit gugup.
 Setelah itu kami masuk ke kelas masing-masing untuk mendapatkan hasil belajar selama semester 2. Alhamdulilah akhirnya aku naik kelas, begitupun kekasihku dia juga naik kelas bersamaku. Hari ini kami lewati dengan begitu indah, bercanda bersama, hingga makan mie ayam bersama. Makan mie ayamnya tidak spesial sih, yang spesialnya adalah bisa makan mie ayam bersama dia. Sampai lupa kalau hari sudah sore, akhirnya kami bergegas pulang kerumah masing-masing.
                ***
“Tiara, bereskan barang-barangmu, besok kita pergi!” intruksi sang mamah yang membuat wajah ceria Tiara menghilang seketika.
Tiara berjalan ke kamarnya tanpa mempedulikan perkataan mamahnya. Dia baru pulang sekolah dan seharian ini dia menghabiskannya bersama Radit. Dia bahkan melupakan perkataan mamahnya semalam sehingga dia harus membereskan semua barang-barangnya yang tersisa malam ini juga.
Setetes air mata jatuh di pipi Tiara, dia memandang photo dirinya bersama Radit di ponselnya. Raditya, mentarinya seseorang yang Tiara cintai. Hingga saat ini dia belum juga mengungkapkan rahasianya kepada Radit. Tidak, Tiara bukan belum tetapi dia tidak akan pernah mengatakannya. Tadi Radit begitu bahagia bersamanya, dia juga banyak tertawa membuat Tiara benar-benar melupakan masalahnya. Tetapi sekarang, masalah itu harus Tiara hadapi dan keputusan sudah dibuat, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Maafkan aku, Radit!” gumam Tiara dengan tetesan air mata yang semakin deras.
Malam ini, Tiara akan menjadikan malam yang tidak akan dia ataupun Radit lupakan. Malam ini akan Tiara buat menjadi malam special. Bukan sebagai malam perpisahan tetapi sebagai malam penuh cinta. Cintanya kepada Radit dan cinta Radit kepada dirinya.
                ***
Malam ini tampak begitu indah, purnama bersinar sangat terang dan di temani jutaan bintang kecil yang indah. Tiba-tiba terdengar suara ponselku, kulihat sang bunga yang menelponku dengan semangat aku mengangkat telponnya.
“Malam?” kata dia padaku. 
“Malam juga!” kataku.
Malam ini perasaanku sangat rindu sekali, seakan-akan dia akan meninggalkanku dalam waktu yang lama. Akhh semua itu kutepis karena tak ingin aku kehilangan dia. Percakapan ini semakin seru hingga aku pun tersenyum sendiri. Di tengah percakapan kami tiba-iba dia bilang sesuatu yang ganjil dalam perkataannya.
“Abhy?” tanyanya menggunakan panggilan dia untukku.
“Apa bunga?” jawabku.
“Jika suatu saat jarak memisahkan kita terus kamu kangen sama aku, lihatlah ke langit lalu tatap purnama yang bersinar dengan jutaan bintang yang ada, karena pada waktu itu aku juga pasti sedang menatap langit melihat sang purnama dan pasti sangat merindukanmu” kata-kata itu tiba-tiba terucap dari mulut manisnya.
Aku hanya bisa berkata, “Jika suatu saat jarak juga memisahkan kita, aku selalu berdoa mudah-mudahan kamu selalu bahagia di sana dan selalu mengingatku di sini!”. Entah kenapa mulut ini mengucapkan kata-kata seperti itu, seakan-akan aku akan ditinggalkan olehnya dalam waktu yang lama.
Akhirnya purnama indah dan bintang yang bersinar kulewati malam ini dengan bertelpon ria bersamanya, hingga tidak terasa malam pun sudah larut. Lalu kami pun berpamitan untuk tidur dengan perasaan enggan.
                ***
Tiara menahan isakannya saat mengatakan kata-kata manis itu sebagai permintaan tak bersyaratnya kepada Radit. Bahkan setelah sambungan telpon mereka terputus, Tiara tak kuasa membendung lagi tangisan yang sudah sejak tadi ditahannya. Sejak mendengar suara Radit, sejak kata-kata manis Radit untuk membalas kata-kata dirinya.
“Maafkan aku, Radit!” ungkap Tiara larut dalam tangisannya.
Tiara sudah memutuskan, malam ini dengan bersaksikan sang rembulan dan bintang-bintang di langit dia menyatakan cinta tulusnya. Perpisahan indahnya untuk Radit sebagai permintaan maaf. Setelah malam ini berakhir, Tiara tidak akan pernah bisa melihat Radit lagi seperti biasa. Dia akan meninggalkan mentarinya untuk tetap bersinar meski bukan untuk menyinari dirinya. Tiara tidak merasa menyesal, perpisahan ini terbalas dengan cinta tulus Radit, dengan semua perhatian Radit kepadanya selama ini. Tiara tidak akan melupakan Radit, walau bagaimanapun Radit akan tetap menjadi mentari untuk Tiara. Tidak aka nada yang menggantikan posisinya di dalam hati Tiara.
                    ***
Pagi pun datang, tapi ada yang berbeda dengan pagi ini. Mentari yang biasa terbit, seakan hilang ditutup sang awan yang tebal hingga membuat pagi begitu gelap. Dan  pagi ini perasaanku tidak enak, karena tidak biasanya sang bunga tidak memberikan sapaan dan senyuman pada sang mentari.
 Tidak biasanya dia tidak sms aku pagi ini, akh mungkin dia ketiduran! Kataku dalam hati. Aku coba mengirim sms kepada dia,  hatiku bertanya-tanya entah apa yang terjadi dengan kekasihku itu? Sepertinya selama ini dia tidak pernah cerita bahwa dia punya masalah.
 “Akh aku coba buat untuk menunggu mungkin dia masih tidur.” Gumamku.
Namun hingga siang hari menjelang tetap tidak ada pesan ataupun telpon darinya. Aku semakin cemas dan hkawatir, bagaimana jika terjadi sesuatu kepadanya? Pikiran-pikiran buruk akan dirinya semakin membuatku takut.
Jam, menit, detik terlewat begitu saja, hingga aku tak sadar bahwa hari menjelang siang, tetapi posisiku masih tetap memandang dan diam dalam satu arah untuk waktu yang lama, yaitu melihat ponselku siapa tahu ada sebuah kabar dari sang bunga. Akhirnya hari ini pun berlalu tanpanya, perasaanku tidak karuan ada sedih cemas semuanya bercampur aduk, hingga membuatku tak bisa melakukan aktivitas dengan ceria, karena sang mentari tidak di sambut oleh sang bunga pagi harinya. Sayang ini adalah awal hari libur jadi aku tidak bisa menanyakan kabarnya kepada teman-temannya.
2 minggu waktu libur kulewati dengan penuh kegundahan dan kecemasan juga kesedihan. 2 minggu yang membuatku merindukannya dan sangat merindukannya, setiap malam aku hanya duduk di sebuah kursi menanti sang purnama hadir di langit. Tetapi sayang dua minggu ini hanya ada bintang-bintang yang bersinar tanpa ada sang purnama menemaninya. Begitulah kegiatanku setiap malam, menanti sang purnama di bawah langit malam yang cerah.
                    ***
2 minggu berlalu dan akhirnya waktu liburpun selesai dan aku masuk sekolah kembali. Kini hari-hariku terasa semakin berat, aku harus kehilangan sang bunga, bahkan aku tidak tahu kemana bungaku pergi. Aku pergi sekolah dengan semangat yang tidak begitu membara karena dalam benakku aku masih berharap bertemu sang bunga hari ini di sekolah.
Treng- treng- treng.
Bel masukpun akhirnya berbunyi, sepanjang jalan dan taman sekolah aku mencari dia, tetapi aku tidak juga menemukannya. Hatiku semakin sedih dan tak karuan, aku takut ada sesuatu yang terjadi kepada dia. Hingga akhirnya pembagian kelas pun selesai lalu aku masuk kelas XI IPA 2, dengan perasaan cemas karena terus memikirkan sang bunga. Aku berjalan dan duduk di bangku paling belakang hingga datanglah wali kelasku membawa absen.
Di pojok depan sana ada kursi yang kosong, aku semakin bertanya-tanya kursi siapakah itu? Apa mungkin itu kursi kekasihku? Pikirku.
“Raditya!“ panggil sang guru.
“Hadir, bu!” jawabku
Setelah memanggil namaku hingga wali kelasku juga memanggil satu nama yang membuatku semakin sedih.
“ Tiara Agnesthalia!” kata sang guru.
Aku tercengang dan kaget saat tahu bahwa kekasihku ternyata satu kelas denganku. Jujur aku sangat senang sekali, tetapi kenapa dia tidak ada? Batinku bertanya-tanya. Tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang namanya Arinda dia menjawab pertanyaan yang menggelayuti benakku.
 “Bu, Tiara pindah sekolah!” katanya yang membuat hatiku sangat terkejut mendengar jawaban itu.
Oh tidak, itu tidak mungkin! Hatiku menolak untuk menerima kenyataan itu. Tidak terasa air mataku menetes perlahan demi perlahan namun segera aku tutupi karena malu oleh teman-temanku. Setelah bel istirahat berbunyi, aku bergegas menemui Arinda untuk menanyakan kebenaran tentang pindahnya kekasihku.
“Arinda!” panggilku.
“Iya Dit, ada apa?” jawabnya.
“Aku mau tanya, apa benar Tiara pindah sekolah? Terus kenapa dia pindah?” tanyaku mendesak Arinda.
Lalu Arinda menjelaskan semuanya kepadaku tentang masalah yang terjadi dengan Tiara. Lagi-lagi air mata ini ingin menetes karena masih tidak percaya bahwa dia secepat itu meninggalkanku. Padahal baru saja aku merasakan sebuah kebahagiaan terindah bersamanya, aku menyesal kenapa tidak sejak dulu saja aku mejadikan dia pacarku. Oh Tuhan, apakah aku sanggup menahan semua rasa rindu ini? Apakah aku sanggup menatap sang purnama yang bersinar dilangit? Terlalu banyak kenangan indah yang dia buat untukku. Tuhan kenapa perpisahan ini begitu cepat terjadi? Aku menyayanginya Tuhan, aku merindukannya Tuhan.
Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berusaha setia pada sang purnama, dan akan menunggu sampai purnama itu benar-benar kembali untuk menerangi malam-malamku lagi. Walaupun aku sendiri tak tahu apakah aku bisa mencintai wanita lain sedangkan hatiku seutuhnya telah pergi bersama sang purnama yang menghilang begitu saja. Aku pun tak pernah menyalahkan dia, aku juga tak pernah menyalahkan keadaan, aku hanya menyesal pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak menyatakan cinta padanya sejak dulu? Maafkan aku bunga, disini aku selalu berdoa dan berharap suatu saat kita bisa bersatu layaknya sang rembulan dan malam yang indah.
Rembulan itu tidak pernah muncul lagi
Dengan teganya dia pergi
Menyisakan malam yang gelap tanpa tersinari
Berharap rembulan lain akan menggantikan hadirnya.
                The End





Biodata kedua penulis

Penulis pertama bernama Adila Nurkamilah seorang siswi SMA yang bercita-cita menjadi seorang penulis. Penulis bisa dihubungi melalui facebook: Adila Nurkamilah ataupun twitter: @dara_adila.
No. Handphone : 081281966014

Penulis kedua bernama Agus Nuryana seorang siswa SMA yang bercita-cita menjadi seorang Dokter Umum. Penulis bisa dihubungi di Twiter @agus_nuryana.
No. Handphone : 085721912917



Coment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar